1.Puisi
“ Kemuliaan Sang Ibu “
Terdiam sejenak dalam renungan..
Kala bayang wajahmu datang menyapa..
Waktupun berputar kebelakang
membuka memori kenangan kecilku
Tetesan keringat dan air mata
berjuang melawan maut..
Demi kehadiran sang buah hati
Mendengar tangisan pertamaku
jadi kebahagian tak ternilai bagimu
Saat ku mulai belajar berjalan
kau dengan setia menjaga ku..
Ku mulai belajar bicara
engkau dengan sabar mengenalkan ku pada kata-kata..
Hingga ku dewasa kasih sayang itu
tetap sama..
Tak pernah pudar dan terkikis oleh waktu..
Bekerja tanpa mengenal kata lelah
Tidur tanpa mengenal kata lelap
Terjaga dalam gelapnya langit subuh
Demi mencari sesuap nasi untuk ku..
Tapi, balasan apa yang ku beri..
Hanya goresan luka dan air mata..
Meskipun begitu kasih sayang itu tak berkurang sedikitpun..
Slalu kau sebut namaku dalam
setiap doamu..
Air mata ini jatuh berlinang dengan derasnya
Mengingat betapa mulianya engkau wahai ibu..
Pepatah berkata..
“surga dibawah telapak kaki ibu”
Izinkanlah daku mencium surga itu
ibu..
Kesederhanaan sebuah cita-cita
Sore yang indah, ditemani oleh
bunyi ombak dan semilir angin yang kian beriringan dengan suara daun kelapa
yang tak mau berhenti untuk melambai. Suasana tenang disini setidaknya dapat
mengurangi rasa penatku. Kudengar decitan kursi roda yang makin lama kian
mendakatiku. Kulihat sosok yang memang akhir-akhir ini sering bersamaku di
tempat ini. Aku sangat bingung jika melihat ekspresi wajahnya terkadang dia
terlihat sangat tenang dan terkadang dia terlihat datar.
“Apa hari ini kau baik-baik saja?”
tanyaku padanya karena memang dia adalah sosok yang sangat sulit ditebak,
bukannya jawaban yang kudapat tapi hanya senyum kecil yang mengembang di
bibirnya. Aku semakin bingung dengan semua tingkahnya, sangat aneh bagiku
karena memang dia sosok yang pendiam tak banyak kata yang dia lontarkan
untukku.
“Disini sangat tenang, aku
menyukainya” ucapku menceracau sendiri, inilah kebiasaanku setiap bertemu
dengannya meskipun tak ada satupun respon darinya tapi aku tahu bahwa dia
mendengarkanku dan mengerti apa yang ku mau.
“Hari ini sama seperti hari-hariku
sebelumnya, tak ada yang istimewa ataupun terkesan semuanya sama dan kau tau
bukan hariku selalu berakhir disini bersama senja, berakhir dengan
gambar-gambar yang hanya bisa menemani sesaat” ucapku padanya, dia menoleh dan
tersenyum padaku.
“Mengapa kau selalu berkata bahwa
hari ini selalu sama seperti hari kemarin?” ujarnya lembut tapi terkesan sangat
dingin.
“ya, karena menurutku semuanya
sama, tak ada apapun yang berkesan” jawabku tanpa menatapnya.
“Itu semua karena ulahmu sendiri yang tak pernah mau tau kan indahnya kehidupan” Ujarnya seraya menatapku. Entah angin dari mana yang telah membawanya untuk bercakap denganku, biasanya hanya aku yang berbicara sendiri.
“Itu semua karena ulahmu sendiri yang tak pernah mau tau kan indahnya kehidupan” Ujarnya seraya menatapku. Entah angin dari mana yang telah membawanya untuk bercakap denganku, biasanya hanya aku yang berbicara sendiri.
“Aku?” tanyaku seraya membenarkan
posisi dudukku untuk menghadapnya. Jujur aku paling tak suka disalahkan atas
kekejaman dunia karena menurutku tak ada yang salah pada diriku hanya saja
dunia ini yang terlalu kejam untuk kupijaki.
“ya, dirimu sendiri” ucapnya
menatapku, aku mendongakkan kepalaku dan mengernyitkan dahi atas pernyataannya.
“Apa yang salah denganku? Aku hanya
ingin hidup bahagia di dunia yang kejam ini tapi nyatanya semua sama saja kan?
Tak ada yang indah” ucapku sedikit emosi karena bisa-bisanya dia menyalahkanku.
“Gracia, sekarang coba kamu fikir
apa yang telah kamu perbuat atas kehidupan kamu? Apa kamu merasa bahagia dengan
itu semua?” tanyanya lagi dan semakin manatapku intens. Sepertinya dia
benar-benar lelah mendengarkan ucapan yang sama selalu terlontar dari bibirku.
“ya, karena menurutku itu yang
terbaik Rey” suaraku sedikit meninggi kali ini karena memang telingaku semakin
panas karena perkataannya.
“Berarti, kau belum mengenali dirimu sendiri” ujarnya santai seraya melempar pandang pada laut lepas yang meyajikan pertunjukan yang sangat sayang untuk dilewatkan.
“Berarti, kau belum mengenali dirimu sendiri” ujarnya santai seraya melempar pandang pada laut lepas yang meyajikan pertunjukan yang sangat sayang untuk dilewatkan.
“Mengenali diri sendiri? Bukankah
kita hidup untuk mnegenali orang lain?” tanyaku semakin menjadi.
“Seharusnya..” dia menghela nafas
sebelum melanjutkan perkataannya,
“Seharusnya apa?” ucapku penasaran dengan apa yang akan dikatakannya
“Seharusnya, sebelum kau ingin tahu siapa orang lain, kau harus bisa mengenali siapa dirimu? Sehingga kau dengan mudah menyesuaikan dengan siapa kau harus tahu? Apa yang bisa membuatmu bahagia? Keinginan apa yang benar-benar ingin kamu miliki?” ucapnya dengan tatapan datar dan tetap lurus menghadap ombak. “Apa kau memiliki cita-cita?” tanyanya kemudian.
“Seharusnya apa?” ucapku penasaran dengan apa yang akan dikatakannya
“Seharusnya, sebelum kau ingin tahu siapa orang lain, kau harus bisa mengenali siapa dirimu? Sehingga kau dengan mudah menyesuaikan dengan siapa kau harus tahu? Apa yang bisa membuatmu bahagia? Keinginan apa yang benar-benar ingin kamu miliki?” ucapnya dengan tatapan datar dan tetap lurus menghadap ombak. “Apa kau memiliki cita-cita?” tanyanya kemudian.
“Ada, bukankah kita hidup untuk
mencapai cita-cita? Dan itu yang bisa buat kita bangga bukan?” tanyaku penuh
selidik.
“Apa yang kau ketahui tentang
cita-cita?” tanyanya lagi. Entah, sekarang aku tak merasa emosi ketika dia
berbicara jika difikir benar juga, dunia akan kejam jika kita tak pandai
menyesuaikannya.
“Cita-cita? Itu sebuah harapan yang
menujukan dirinya untuk menjadi seseorang yang dia ingini” jawabku menatapnya.
“Seperti?” tanyanya lagi
“Seperti menjadi guru, dokter, author, fotographer, ya pokoknya yang berhubungan dengan profesi” ujarku santai.
“Seperti menjadi guru, dokter, author, fotographer, ya pokoknya yang berhubungan dengan profesi” ujarku santai.
“Kurang tepat” ucapnya seraya
melempar pandangan dan senyum kepadaku.
“Salah lagi? Kenapa ucapanku tak
ada satupun yang benar di telingamu” ucapku sebal.
“aku kan tidak mengatakan bahwa kau
salah, tapi aku berkata kau kurang tepat Gracia” ujarnya seraya mencubit pipiku
dengan gemas.
“Sama saja Rey” ujarku. “Ikut aku” ucapnya
mengajakku untuk ke suatu tempat.
“Nanti saja aku masih ingin
mengabadikan senja disini” ucapku dengan nada memohon.
“Tidak, sudah cukup kau
mengabadikannya sejak minggu kemarin, apa kau tak kasian melihat kameramu yang
jengah karena kau selalu menyuruhnya untuk mnegabadikan senja” ujarnya seraya
menarik pergelangan tanganku untuk mendorong kursi rodanya.
“ok” ucapku pasrah. Entah akan
dibawanya kemana diriku ini, aku hanya mengikuti instruksinya saat berjalan,
memang selama perjalanan tak ada obralan penting hanya saja cuap-cuap yang
menunjukkan jalan untuk ke tempat yang akan dia tunjukkan padaku.
“Sampai” ujarnya. Rumah yang tak
terlalu mewah tapi berukuran cukup besar yang telah ada di hadapanku sekarang.
Jujur, aku sangat bingung banyak sekali orang yang menghuni tempat ini. Tapi
disini ada yang berbeda, Ya.. hampir semua orang yang tinggal disini adalah
mereka-mereka yang tidak seberuntung diriku.
“Mereka siapa mengapa banyak sekali
yang menghuni tempat ini?” Tanyaku seraya menjajari posisinya yang tengah ada
di kursi roda miliknya.
“ayo, akan kutunjukkan kau betapa
banyak cita-cita yang ada disini bukan hanya sekedar profesi belaka” ucapnya
seraya menjalankan kursi rodanya. Aku segera bangkit dan menyusulnya, tak
jarang dia disapa oleh penghuni disini. Sungguh, aku tak kuasa berada di tempat
ini. Hidup dengan banyak kekurangan tapi mereka masih bisa bertahan hanya itu
yang sedari tadi mengelilingi otakku.
Di sepanjang perjalananku
mengelilingi rumah ini, Rey banyak bercerita tentang Rista yang tunanetra tapi
dia berusaha untuk mengahafal semua yang pernah dia lewati. Arga yang lumpuh
tapi, sepertinya dia tak ingin hanya berdiam diri sehingga dia belajar untuk
berjalan agar dia kembali normal dan banyak hal-hal yang meurutku sepele tapi
menjadi cita-cita banyak orang disini.
“Aku tinggal dulu ya? Kau boleh
melihat-lihat sekitar sini, bertemanlah bersama mereka, kau akan tahu nanti
siapa dirimu” ujarnya sebelum benar-benar pergi.
Setelah lama merasa bosan duduk
termenung sendiri tanpa teman, aku memutuskan untuk melihat-lihat aktivitas
mereka, mulai dari bermain, bercanda bahkan menyalurkan hobi. Meskipun mereka
banyak kekurangan tapi mereka tak pernah lelah untuk berusaha. Hingga akhirnya
pandanganku menangkap sosok gadis kecil dengan kanvas dan kuas di hadapannya.
Perlahan aku mendekatinya dan ingin tahu lebih jauh siapa sosok gadis kecil
misterius ini.
“Hai, boleh kaka duduk disini”
tanyaku sembari menunjuk bangku kosong di sebelahnya. dia hanya tersenyum dan
menganggukkan kepalanya.
“Lagi apa?” tanyaku lagi untuk mencoba akrab dengannya.
“Lagi apa?” tanyaku lagi untuk mencoba akrab dengannya.
“Lagi ngelukis kak” ucanya lembut.
“Nama kamu siapa?” tanyaku lagi, karena memang entah kenapa aku ingin
mengenalinya lebih jauh. “Rere” jawabnya singkat tapi cukup untukku. “Rere lagi
ngelukis apa?” tanyaku lebih banyak.
“Cita-cita Rere” dahiku semakin
mngernyit saat menatap kanvas yang ada di hadapannya. Karena disana hanya ada
torehan sebuah gambar taman dengan anak-anak kecil yang bermain tapi, mengapa
itu bisa menjadi cita-citanya? Aneh, cuma itu sekarang yang aku tahu tentang
dia.
“Cita-cita? Boleh kakak tahu kenapa
Rere punya cita-cita itu? Itu sangat sederhana sayang, kita tinggal pergi ke
taman dan bermain-main dengan mereka” ucapku menjelaskan. Dia menatapku sambil
tersenyum.
“Bagi orang normal seperti kaka itu
memang biasa, tapi bagiku itu hal yag sangat membahagiakan, berlari sepuas
mereka, bermain semau mereka, sebenarnya bahagia itu sederhana yang penting
kita bisa melakukan hal yang kita suka dengan sendirinya kita akan merasa
bahagia atas itu semua” diam, hanya itu yang dapat kulakukan sekarang bagaimana
bisa gadis sekecil dia bisa mengerti kehidupan sedangkan aku hanya bisa
menyalahkan dunia.
“kamu bisa kok seperti mereka, toh
kamu baik-baik saja kan?” tanyaku selanjutnya
“Aku menderita leukimia kak, terkadang
jika aku merasa sedikit lelah kaki dan tanganku tiba-tiba akan lumpuh meskipun
hanya sementara tapi, itu bisa jadi untuk selmanya aku tak akan bisa melakukan
hal-hal yang bisa kulakukan sekarang” ujarnya lagi.
Seketika aku diam dan tak berani
mengatakan apapun. Gadis kecil seperti dia harus menanggung beban hidup yang
cukup berat? tapi, mengapa dia mampu bertahan? Sedangkan aku? Normal, tapi tak
mampu menahan semua beban hidup. Cita-citanya sangat sederhana akan tetapi
karena cita-citanya itulah yang membuat mereka mampu bertahan hingga saat ini.
Dan baru kali ini aku sadar bahwa cita-cita bukan hanyalah sekedar profesi
belaka yang ingin dijalani kelak, tapi bisa jadi cita-cita adalah sebuah
harapan tentang kehidupan atau kegiatan yang ingin kita lakukan untuk kemudian
hari. Tak seharusnya aku menyamakan hari ini dengan hari kemarin karena yang
seharusnya aku lakukan adalah menjadikan hari kemarin sebagai pembelajaran,
menjalani hari ini, dan berfikir untuk menjalani hari esok agar semua cita-cita
dapat dicapai sesuai dengan keinginan.
Sumber:
http://cerpenmu.com/cerpen-kehidupan/kesederhanaan-sebuah-cita-cita.html
0 komentar:
Post a Comment